Keputusan DK-PBB kali ini bukan sebuah surprise. Sejak jauh hari, arah kebijakan lembaga itu terhadap Iran sudah dapat diduga. Soalnya hanyalah tentang kapan, berapa lama, serta seberapa jauh sanksi itu akan diterapkan.
Yang amat mengejutkan justru sikap Indonesia yang mendukung sanksi itu. Keputusan itu tidak saja mengundang pertanyaan, tetapi juga kecaman di dalam negeri. Boleh saja Menlu Hassan Wirajuda menjelaskan dukungan terhadap sanksi itu diambil karena dalam resolusi masih terkandung spirit perdamaian dan cara-cara persuasif untuk mengatasi krisis nuklir Iran. Sehingga opsi yang ditawarkan Indonesia pun masih berakomodasi dalam resolusi tersebut.
Tetapi, itu rasionalisasi yang tidak dapat diterima. Pertanyaannya, bila gamang menentang sanksi, mengapa tidak memilih abstain?
Dengan dukungan itu, diplomasi kita telah kehilangan spirit politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dipegang teguh. Bahkan kini, bisa ditafsirkan pemerintah telah mengkhianati konstitusi, khususnya pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun belum tentu benar, sekurang-kurangnya ini telah menguatkan persepsi betapa diplomasi luar negeri RI kini amat lemah terhadap pengaruh negara adidaya. Amerika Serikat!
Seharusnya Indonesia bersikap tegas dengan menolak sanksi terhadap Iran. Ini penting, bukan saja untuk menunjukkan bahwa kita punya sikap egaliter, tetapi juga menjadi awal untuk membela kepentingan sendiri dalam pengembangan energi nuklir domestik di masa datang. Sikap RI juga menjadi tidak konsisten karena ketika Presiden Iran Ahmadinejad berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu, pemerintah jelas-jelas mendukung nuklir Iran sejauh untuk perdamaian.
Iran dilarang mengembangkan energi nuklir, yang menjadi hak semua bangsa, karena dicurigai akan mengembangkan senjata pemusnah massal. Premis ini sulit diterima. Karena, kalau Amerika dan sekutunya boleh punya senjata nuklir dan pemusnah massal, mengapa negeri lain termasuk Iran tidak? Ini sungguh tidak adil!
Berdasarkan premis lemah itu sanksi demi sanksi diterapkan terhadap Iran. Padahal, negeri para mullah itu sudah menegaskan bahwa pengembangan nuklir itu adalah untuk kepentingan damai.
Departemen Luar Negeri mestinya mengkaji bahwa opsi sejenis juga dikembangkan Amerika terhadap Irak. Sebelum menginvasi Irak, Amerika menjalankan propaganda yang sama. Dan setelah Irak dilemahkan oleh sanksi, Amerika pun menyerang dan menggulingkan Saddam Hussein secara semena-mena. Belakangan, diketahui bahwa senjata pemusnah massal tidak pernah ada. Belakangan pula terungkap betapa laporan intelijen sengaja dibuat cacat untuk mencari alasan bagi upaya penaklukan.
Sanksi DK-PBB terhadap Iran adalah soal pengukuhan hegemoni atas imperium global Amerika. Dan Indonesia, ironisnya mendukung upaya itu. Ini sungguh mengecewakan. Apalagi langkah itu diambil justru saat Indonesia mulai memiliki posisi jauh lebih strategis dari sebelumnya, yakni anggota tidak tetap DK PBB. Sungguh sebuah keputusan yang mencerminkan inferioritas kita terhadap Amerika!
editorial media indonesia PKS Story
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar