KURSI yang tengah diduduki Abu Amr, 56, sekarang ini termasuk kursi panas di kabinet baru Palestina bersatu. Pasalnya, posisi menteri luar negeri (menlu) merupakan salah satu jabatan paling sensitif dan rawan ketegangan karena sebelumnya diperebutkan Hamas-Fatah. Meski begitu, Abu Amr akhirnya dipilih mengisi posisi ini karena dia merupakan tokoh independen yang dipercaya tidak akan memihak pada salah satu faksi.
Dia dituntut dapat menjadi jembatan penghubung antara kepentingan Hamas dan Fatah sekaligus, khususnya terkait kebijakan luar negeri Palestina. ”Saya pikir, ada kerja sama yang dapat dilakukan untuk menjembatani perbedaan internal ini atas nama reformasi dan perubahan,” kata pria yang selalu berpandangan optimistis ini. Bagaimanapun, dia sangat prihatin dengan pernyataan berbagai kalangan yang menyebut bahwa dia hanya akan mengadakan kontak diplomatik dengan anggota kabinet non-Hamas.”Saya ingin tegaskan, kita harus mendukung pemerintahan ini tanpa mengenal diskriminasi terhadap seluruh anggotanya,” tandas sosok bergelar PhD dari Georgetown University,Washington DC, AS ini. Menurutnya, tindakan seperti ini hanya akan menggagalkan upaya rekonsiliasi kedua faksi.
Di samping tekanan jabatan yang berat dari dalam negeri,Abu Amr sebenarnya mengemban tugas lebih berat lagi di kancah internasional. Betapa tidak, di tengah embargo diplomatik serta finansial yang dijatuhkan terhadap Palestina sejak tahun lalu, Abu Amr harus mampu meyakinkan komunitas internasional agar segera mencabut embargo tersebut. Puluhan juta penduduk Palestina sangat menderita akibat embargo ini dan amanat yang dimandatkan kepadanya adalah segera mengakhiri penderitaan rakyat Palestina. ”Saya pikir,komunitas internasional tidak seharusnya menjatuhkan hukuman kepada rakyat Palestina yang tengah menjalankan proses demokrasi,” kata ayah empat anak ini merujuk pada embargo yang dianggapnya kontraproduktif.
Sejak kabinet Palestina terbentuk pada 18 Maret lalu, Abu Amr langsung disambut baik oleh komunitas internasional dan tentu saja dihujani tugas-tugas diplomatik yang sangat krusial. Dia mendapat undangan dari pemerintah Prancis untuk mendiskusikan rencana pencabutan embargo terhadap Palestina sekarang ini. Selain itu,beberapa waktu lalu dia menjadi salah seorang delegasi Palestina yang menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab untuk membicarakan inisiatif perdamaian Timur Tengah. Dalam KTT tersebut, Abu Amr mendukung penuh dan mendesak Israel menerima inisiatif perdamaian yang dikeluarkan negaranegara Arab.
Salah satu seruan yang termaktub dalam inisiatif tersebut adalah penarikan mundur pendudukan Israel ke posisi sebelum perang 1967. ”Pendudukan sudah pasti merupakan sumber kekerasan. Jika pendudukan dihilangkan, saya yakin 90% masalah yang ada sekarang ini akan ikut hilang,”katanya. Sama seperti rakyat Palestina lain, sejak lama Abu Amr mengecam keras pendekatan militer dari Israel dalam menyelesaikan konflik di wilayah ini.”Masalah politik tidak akan dapat diselesaikan dengan cara-cara militer,”tandasnya.
Di dalam negeri,Abu Amr selama ini sangat populer di kalangan pemuda dan tokoh-tokoh reformis. Itu karena Abu Amr merupakan seorang politikus berpandangan reformis yang memiliki filosofi serupa dengan tokoh muda Palestina yang menentang pandangan lama dari tokoh senior loyalis Yasser Arafat. Jauh sebelum Hamas berkuasa sejak kemenangan mereka pada pemilu demokratis tahun lalu, Abu Amr merupakan salah seorang tokoh yang mengusulkan agar kelompok seperti Hamas dan Jihad Islam di Palestina diakui sebagai kelompok oposisi pemerintah. Ini merupakan salah satu bentuk nyata dari pemikiran reformisnya.
Meski terlihat lihai, sebenarnya awal karier Abu Amr bukan dimulai dari bidang politik, melainkan dari bidang akademis. Abu Amr pernah mengajar ilmu politik di Birzeit University, Ramallah, Tepi Barat, sejak 1985. Sebelum meraih gelar doktor dari AS, Abu Amr memperoleh gelar BA di bidang sastra dan bahasa Inggris dari Damascus University, Suriah. Selain mengajar,Abu Amr juga pernah beberapa kali menulis buku dan makalah. Salah satu tulisannya yang paling terkenal di level internasional berjudul Islamic Fundamentalism in the West Bank and Gaza: Muslim Brotherhood and Islamic Jihad. Pada 1996, dia terpilih menjadi salah seorang anggota Dewan Legislatif Palestina (PLC), sebagai tokoh independen mewakili Gaza City.
Di sini, dia menjabat Ketua Komite Urusan Politik di parlemen dan sejak itulah namanya mulai dikenal di kancah politik Palestina. Kemudian, sejak April hingga Oktober 2003, Presiden Mahmoud Abbas yang kala itu masih menjabat sebagai perdana menteri, mengangkatnya menjadi menteri kebudayaan dengan tugas mempromosikan kebudayaan asli Palestina. Setelah kemenangan Hamas dalam pemilu demokratis 2006, Abu Amr terpilih kembali menjadi anggota legislatif Palestina. Akhirnya, pada Maret lalu dia dipilih menjadi menlu dalam kabinet bersatu Palestina.Sindo

Tidak ada komentar:
Posting Komentar