Senin, 02 April 2007

Interpelasi, Siapa Takut?

GEMA interpelasi semakin menggelegar di Dewan Perwakilan Rakyat. Bila pekan lalu jumlah anggota yang menandatangani usul interpelasi baru 132, pekan ini sudah melampaui angka 280. Bahkan kalau terus digalang, jumlahnya bisa melebihi 300.

Penanda tangan usul interpelasi adalah anggota yang kecewa terhadap sikap pemerintah Indonesia dalam soal Iran di Dewan Keamanan PBB. Pekan lalu Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi 1747 yang memberi sanksi kepada Iran karena dicurigai sedang mengembangkan nuklir untuk keperluan militer, bukan kepentingan damai seperti yang dijanjikan.

Berbeda dengan harapan sebagian besar politisi di parlemen yang menginginkan Indonesia menentang, Indonesia justru mendukung resolusi itu. Penjelasan dari Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda di parlemen ternyata tidak cukup.

Bahkan lobi yang dilakukan di Hotel Dharmawangsa oleh beberapa pejabat pemerintah tidak mempan. Anggota DPR merasa kali ini merupakan momentum untuk membuktikan bahwa interpelasi sungguh-sungguh akan dilaksanakan.

Sudah berkali-kali interpelasi kencang disuarakan, tetapi lenyap tidak menentu. Lenyap karena lobi, lenyap karena ancaman, dan lenyap karena 'saling pengertian' yang tidak sama dengan understanding. Ada yang memaksakan pengertian dan ada pula yang rela menerima pengertian, walaupun tidak seluruhnya benar.

Interpelasi harus dilihat sebagai hak DPR. Karena hak bisa digunakan, bisa juga tidak. Ketika sebuah hak dijamin dengan undang-undang, hak itu haruslah diabdikan bagi kebutuhan dan alasan yang sangat penting. Tidak bisa hak dipakai untuk sekadar memperoleh bargaining politik.

Karena masing-masing memiliki hak--pemerintah berhak menjelaskan dan DPR berhak bertanya--tidak perlu ada ketakutan sedikit pun terhadap interpelasi. DPR tidak boleh takut menggunakan hak interpelasi. Dan pemerintah, dalam hal ini Presiden, tidak boleh takut menghadapi pertanyaan dari anggota dewan. Jadi kedua pihak harus sama-sama memiliki keyakinan untuk melihat interpelasi sebagai hal yang biasa-biasa saja, bukan luar biasa.

Pemerintah atau Presiden harus menghadapinya dengan santai. Tidak boleh, misalnya, menggagalkan interpelasi dengan membuang energi yang terlalu banyak apalagi mahal.

Sekali-sekali Presiden perlu memperlihatkan kepada DPR secara langsung dalam sebuah tanya jawab yang cerdas dan benar. Sebab, DPR bukan lembaga super yang memonopoli kebenaran. Mereka juga bisa salah membaca gejala dan persoalan. Penjelasan yang cerdas, benar, dan berani akan memperkuat citra bahwa Presiden berpihak pada kebenaran, bukan kepada kompromi-kompromi tentang kebenaran.

Demikian pula parlemen. Interpelasi yang terlalu sering dimatikan oleh lobi eksekutif akan merusak citra DPR juga. Bila terus berkompromi karena lobi politik, lama-kelamaan DPR menobatkan dirinya sebagai alat kelengkapan eksekutif. Padahal DPR dan eksekutif (Presiden) adalah lembaga sejajar yang memiliki independensi tinggi.

Jadi, jangan sampai DPR mengembalikan apa yang selama ini ditentangnya sendiri, yaitu mengubah parlemen sebagai bawahan eksekutif. Pintu itu terbuka lebar bila parlemen mengompromikan hak-haknya.

Eksekutif pun demikian. Lembaga itu akan mengubah dirinya sebagai broker kekuasaan bila setiap ancaman interpelasi dari DPR dihadapi dengan lobi penuh ketakutan.

Jadi DPR dan Presiden harus mengatakan dengan kepercayaan diri yang besar bahwa interpelasi bukanlah hal yang sangat menakutkan. DPR tidak boleh takut bertanya, dan Presiden tidak perlu takut menjawab.


Blogger Indonesia PKS Success Story

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hubungi Kami:

Kantor : Gedung twink Lt 3, Jl Kapten Tendean no. 82, Mampang Prapatan Jakarta Selatan
Telp: 021-73888872/021-70692409

Email : cheriatna@gmail.com




Entri Populer

Info Haji

Biro Travel Haji Plus dan Umroh Prima Saidah