Survei terbaru yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada 17-24 Maret 2007 di 33 provinsi dengan responden 1.238 orang menghasilkan angka seperti itu. Popularitas SBY merosot ke posisi 49,7%, sedangkan Jusuf Kalla tinggal 46,9%.
Apa pemicunya? Direktur Eksekutif LSI Syaiful Mujani menunjuk situasi perekonomian yang tidak kunjung membaik--bahkan dalam beberapa hal memburuk--adalah penyebab utama kemerosotan popularitas duet SBY-JK. Untuk mereka yang percaya pada survei, popularitas di bawah 50% adalah situasi yang membahayakan.
Popularitas seorang presiden, termasuk wakil presiden, tidak turun atau naik begitu saja. Dia berkaitan sangat erat dengan tingkat kepuasan atau kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Kalau semakin banyak orang puas dengan kebijakannya, semakin populer. Tetapi bila popularitas menurun drastis dari tahun ke tahun, artinya jumlah rakyat yang kecewa semakin banyak.
Kekecewaan yang berlangsung lama akan menimbulkan ketidakpercayaan. Alangkah sakitnya pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat dengan suara mayoritas, tetapi hanya dalam tempo tiga tahun sudah menghasilkan mayoritas yang kecewa. Dari sisi demokrasi, mayoritas yang kecewa ini sesungguhnya mencerminkan telah terjadi delegitimasi terhadap pemimpinnya.
Kekecewaan publik, terutama dalam soal ekonomi, bukan tidak berdasar. Kualitas hidup orang banyak, dari desa sampai kota, tidak bertambah baik, bahkan menurun.
Rakyat tidak terlalu peduli bahkan tidak mengerti perekonomian yang dijelaskan melalui angka. Andai kata angka-angka sejumlah indikator perekonomian meroket setinggi langit, rakyat tetap akan mengatakan sengsara bila kehidupan riil mereka memang dibelit kesulitan dari hari ke hari.
Apakah suasana riil yang mendera rakyat dari hari ke hari? Bila SBY dan JK meminta rakyat menunjukkan apa yang membaik selama satu tahun terakhir, jawabnya adalah rasa aman dari gangguan bom para teroris. Tetapi rasa aman itu sekarang terusik ketika ditemukan lagi bahan-bahan berbahaya pembuat bom maupun senjata dalam jumlah besar di Sleman, Yogyakarta.
Bisa juga disebut Aceh sebagai contoh sukses. Tetapi sukses perdamaian di Aceh baru menghasilkan rasa aman. Belum menyumbang banyak dalam soal kesejahteraan. Orang Aceh belum merasa terbebas dari kemiskinan akibat penghentian perang di sana.
Jadi, kemerosotan popularitas SBY-JK ke bawah garis aman psikologis sekarang ini harus dibaca sebagai jeritan orang banyak bahwa kehidupan mereka sesungguhnya makin sulit. Keadaan riil itu bertolak belakang dengan janji-janji serbamanis dan serbabisa di waktu kampanye pemilihan presiden dulu.
Kesulitan riil itu kasatmata. Bahan bakar minyak tidak saja mahal, tetapi juga sulit didapat. Beras tidak hanya semakin mahal, tetapi juga semakin sulit diperoleh. Kriminalitas meningkat, orang miskin bertambah, korupsi bertahan di bawah perilaku pemberantasan yang pandang bulu.
Rakyat menaruh harapan tinggi pada pemerintah, bukan DPR. Tetapi celakanya, harapan perbaikan mutu kehidupan yang lahir dari kebijakan penyelenggaraan negara hampir tidak ada lagi. Karena usia pemerintahan SBY-JK tinggal dua tahun, praktis tidak punya waktu lagi.
Harapan semakin tidak ada karena oposisi juga belum tumbuh kuat di negara ini. Nah, itulah bahasa yang bisa disampaikan sebagai terjemahan dari popularitas SBY-JK yang menurun tajam. Terserah keduanya, mau percaya boleh, tidak percaya juga boleh. Soalnya SBY pernah berkata, "I dont care about my popularity." Benar nih....
Editorial Media Indonesia
PKS Story
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar