Tetap Milih, Meski Tak Ada Pilihan
- redaksi berpolitik
(berpolitik.com): Ditengarai banyak warga Jakarta yang bakal mutung tak nyoblos pada pilkada Agustus mendatang. Pasalnya, dua bakal calon gubernur yang sudah ada dinilai sama-sama tak menariknya.
Meski begitu, beberapa kalangan pegiat politik di Jakarta yang dihubungi berpolitik.com mengaku akan tetap memilih. pengamat politik Sukardi Rinakit, umpamanya, menegaskan dirinya tak ada golput."Kalau tak memilih, saya ndak punya hak untuk protes jika pemenangnya nggak becus mengelola Jakarta,"kata Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate ini.
Dengan alasan yang berbeda, Wimar Witoelar dalam berbagai kesempatan menyatakan tetap akan menyoblos pada pilkada nanti. "Kalau nantinya calon yang ada adalah kandidat yang buruk dengan yang buruk juga, kita harus memilih yang paling sedikit buruknya," ujar pengasuh acara Perspektif Baru yang disiarkan melalui jaringan radio itu.
Dari kubu kandidat yang sudah tersingkir, beberapa pentolannya masih bersikeras untuk tetap memilih dan bahkan menyokong salah satu kandidat. Pertimbangannya mirip dengan yang disampaikan Wimar dan Sukardi. "Efek kerusakan harus diminimalisir" dan "mengajak orang bergolput bukan pilihan yang baik bagi demokrasi" merupakan dua alasan yang kerap didengungkan.
Di tengah-tengah kefrustasian politik seperti ini, kehadiran calon alternatif dipandang sebagai jalan keluar yang baik. Apalagi, bila dicermati, potensi untuk menangnya justru terbuka lebar. Ini akan jadi kanal bagi mereka yang tak puas, baik kepada Adang ataupun Fauzi.
Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang bisa digaet oleh kandidat alternatif?
Pertama, sebut saja pemilih "gusuran". Yaitu, mereka yang semula menjadi pendukung dan pengagum sejumlah kandidat yang sudah tersungkur ditahapan penjaringan di parpol. Jumlahnya barangkali tak banyak, tapi bisa dikategorikan "militan'. Mereka tak menyoalkan apakah dirinya bakal direkrut menjadi anggota tim kampanye atau tidak. Juga tak mempersoalkan jika tak disokong dana. Mereka akan bekerja dengan cara dan duitnya sendiri.
Kedua, sebut saja pemilih "kritis". Pemilih ini sedikit berhimpitan yang pertama. Bedanya, barangkali lebih pada kadar militansinya. Mereka tak memiliki preferensi pilihan sebelumnya atau kebingungan untuk menetapkan pilihan antara menyokong Sarwono atau Faisal. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan pegiat ornop, aktivis sosial dan sebagian kecil lagi para akademisi.
Ketiga, sebut saja pemilih "korban". Pemilih ini merupakan mereka yang selama lima tahun ini terakhir ini kerap jadi korban kebijakan pembangunan di Jakarta.
Keempat, sebut saja pemilih "protes". Mereka adalah simpatisan parpol yang merasa tak nyaman dengan pilihan parpolnya sendiri. Dari kubu PKS, mereka adalah pemilih PKS yang memilih partai ini karena citranya sebagai partai yang bersih dan peduli. Dari kubu koalisi kebangsaan, pemilih kategori ini terutama tersebar di PDIP dan PD.
Satu-satunya koalisi alternatif yang masih mungkin terbentuk adalah jika PAN dan PKB bersedia saling mengalah. kombinasi yang paling menjanjikan, setidaknya menurut berbagai polling, adalah jika koalisi ini mengusung pasangan Agum-Rano.
Tapi jangan cepat berharap ada kandidat ketiga. Sikap PAN yang masih membuka diri untuk bergabung dengan Adang pasti menjadi catatan yang harus digarisbawahi PKB. Apalagi, PAN masih belum menemukan formulasi untuk "menyingkirkan" Jeffrie Geovanie. Pasalnya, menyingkirkan mantan calon gubernur Sumbar ini dikhawatirkan bakal menambah 'daftar dosa' partai ini di Muhammadiyah yang disebut-sebut sebagai pihak yang menitipkan Jeffrie.
Menilik situasi ini, PAN diperkirakan bakal menjadi ajang pertarungan antara Fauzi dan Adang. Di satu sisi, Pilihan terbaik bagi Fauzi adalah mendorong PAN merapat ke Adang Daradjatun. Sebaliknya,di sisi lain, Adang pasti akan mendorong PAN membentuk koalisi alternatif. Perhitungannya, suara yang bakal disedot pasangan alternatif ini diyakini lebih besar menggrogoti suaranya Fauzi ketimbang dirinya.
PKS Story
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar