Dari hasil autopsi menunjukkan pembunuhan terhadap Cliff dilakukan dalam semangat kekejaman dan keganasan yang tinggi. Jantung Cliff memar dan tulang dada retak. Ia terkapar di barak DKI karena dihajar dengan tendangan dan tonjokan seniornya yang berjumlah 13 orang atas nama disiplin. Cliff memang terlambat datang memenuhi panggilan kakak kelasnya.
Nafsu membunuh di kampus milik Departemen Dalam Negeri di Jatinangor, Jawa Barat, itu tergolong tinggi. Mengubah nama perguruan dari sekolah tinggi ke institut--salah satu alasan adalah untuk menghilangkan budaya kekerasan--ternyata tidak berpengaruh. Para calon pamong praja, sebagian besar sudah berstatus PNS, itu tetap saja bernafsu sebagai tukang jagal. Mereka membunuh dengan alasan sepele, tetapi atas nama disiplin dan gengsi angkatan.
Pembunuhan, entah di jalanan entah di kampus, adalah kejahatan. Bagaimana bisa diterima akal sehat bila sebuah kampus yang mendidik calon pamong praja menjadi persemaian kejahatan? Apa yang bisa diharapkan dari tamatan kampus dengan watak seperti itu?
Data berikut ini seharusnya cukup dijadikan alasan untuk menutup sekolah kedinasan yang menumbuhkan kehausan membunuh sangat tinggi itu. Padahal IPDN bukan sekolah militer yang salah satu doktrinnya adalah membunuh atau dibunuh. Maklum militer dididik untuk berperang.
Dari penelitian seorang mahasiswa program doktor di Universitas Padjadjaran diperoleh data yang mencengangkan. Dari 2000 sampai dengan 2004, terjadi 660 kasus seks bebas di kalangan siswa IPDN. Dalam kurun yang sama ditemukan 35 kasus penganiayaan berat, 125 kasus narkoba, dan 9.000 penganiayaan ringan. Cliff Muntu adalah korban meninggal ke-10 sejak 1994.
Menurut kesimpulan sementara penelitian tersebut, pelanggaran yang begitu banyak dan tergolong berat itu sangat sedikit diganjar sanksi oleh para pengelola perguruan.
Disiplin memang bagus. Tetapi disiplin yang berujung pada pembunuhan adalah salah kaprah. Sistem asrama sebenarnya dirancang untuk menggugah integrasi dan sosialisasi. Tetapi, asrama di IPDN dikaveling berdasarkan daerah dan berubah menjadi enklave keganasan. Cliff yang menghuni barak Sulut dihajar ketika berada di barak DKI.
Keganasan di kalangan praja IPDN tidak hanya terjadi di kampus. Di luar kampus pun mereka bisa melakukan kebrutalan terhadap sesama siswa. Kejadian di Padang, Sumatra Barat, pada 2005 membuat kita tidak bisa mengerti.
Aidil, salah satu siswa, berlibur Lebaran di Padang, kota asalnya. Dalam rangka silaturahmi Idul Fitri, ia mendatangi rumah seniornya yang juga berlibur di kota yang sama. Aneh bin ajaib, Aidil yang datang untuk berjabat tangan sambil memohon maaf lahir dan batin disambar sang senior dengan tendangan dan tonjokan di Hari Lebaran. Aidil akhirnya memutuskan tidak melanjutkan studinya di IPDN.
Kampus yang menjadi enklave keganasan dan kebengisan seperti ini tentu tidak pantas dipertahankan. Kematian Cliff tidak cukup hanya ditelusuri dari sisi kejahatan dan penegakan hukum, tetapi sekaligus mempertanyakan secara serius eksistensi IPDN.
Pamong praja yang dihasilkan dari sebuah kampus dengan kultur keganasan tukang jagal menjadi ironi terbesar sebuah institusi pendidikan. Juga ironi memalukan bagi sebuah negara yang masih menganut kebijakan kepegawaian dari sumber yang mengangkangi peradaban dan kemanusiaan. demikian Editorial Miol.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar