Namun, perilaku keseharian anggota dewan tidak selamanya mencerminkan orang yang patut dihormati. Ada di antara mereka yang suka bolos atau tidur pada saat rapat membahas kepentingan rakyat.
Lebih tragis lagi, sebagian aliran dana korupsi justru bermuara di Senayan. Anggota DPR menjadi penadah hasil kejahatan, minimal ikut menikmati uang korupsi. Mereka menjadi penadah berdasi.
Fakta bahwa uang hasil korupsi bermuara di Senayan terungkap di pengadilan. Pada persidangan yang digelar 23 Maret 2007 di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, misalnya, terungkap Komisi III DPR pernah menyurati Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) agar anggota mereka diberi uang tunjangan hari raya tahun 2002. Berdasarkan surat tersebut, DKP memberikan uang tunjangan hari raya sebesar Rp164 juta kepada 56 anggota Komisi III DPR.
Uang yang diberikan untuk tunjangan hari raya anggota Komisi III DPR itu diambil dari dana yang dikumpulkan DKP dari para pengusaha mitra departemen tersebut. Pengumpulan dana itu kini menyeret mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sebagai tersangka kasus korupsi.
Dua persidangan sebelumnya di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi juga terungkap keterlibatan anggota DPR. Dalam sidang korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU), terungkap aliran dana dari KPU kepada anggota DPR Abdullah Zaini sebesar Rp100 juta.
Begitu juga dalam sidang korupsi di tubuh Badan Riset DKP, anggota DPR Andi Fachry Leluasa disebutkan terlibat dalam proyek pengadaan peralatan laboratorium. Andi Fachry berperan memperkenalkan Tirta Winata, Direktur Utama PT Tirta Kencana Wahana, sebagai rekanan dan memenangkan PT Tirta dalam tender proyek pengadaan peralatan laboratorium.
Namun fakta yang terungkap di persidangan itu hilang begitu saja bak ditelan bumi. Lain halnya jika penadah itu orang biasa, misalnya dalam kasus pencurian kendaraan bermotor. Polisi begitu cekatan membongkar komplotan pencuri dan jaksa lihai mencari pasal untuk membawa penadah ke meja hijau.
Hukum seakan lumpuh jika berhadapan dengan penadah berdasi. Penyidik tiba-tiba loyo untuk menjangkau anggota DPR. Pemberantasan korupsi memang masih tebang pilih.
Sikap tebang pilih aparat penegak hukum itulah yang mendorong korupsi kian mengganas di negeri ini. Korupsi pun bagai virus menggerogoti organ vital demokrasi yakni DPR. Anggota DPR tidak lagi mengenal budaya malu, malah malu-maluin.
Korupsi kini makin mengganas di Senayan. Hasil survei Global Corruption Barometer menempatkan DPR, peradilan, kepolisian, dan partai politik sebagai lembaga terkorup di Indonesia pada 2006. Alangkah celakanya, semua lembaga yang bertugas memberantas korupsi justru berlomba-lomba melakukan korupsi.
Lebih celaka lagi, DPR yang mendapat mandat dari negara untuk mengawasi jalannya pemerintahan malah bermufakat dengan eksekutif untuk melakukan korupsi. DPR tidak malu melayangkan surat permintaan tunjangan hari raya kepada menteri dan menteri pun mengorupsi uang negara untuk diberikan kepada anggota DPR. Situasi seperti ini bakal kekal karena aparat penegak hukum tidak pernah berani untuk mengusut penadah berdasi, apalagi jika penegak hukum sudah menjadi bagian dari korupsi yang menggurita.Demikian Editorial Miol

Tidak ada komentar:
Posting Komentar