Selasa, 03 April 2007

Urus KTP, Lagi-Lagi Uang

Pada 2005 aku memutuskan untuk menjadi warga Jakarta. Kulengkapi identitas diriku dengan membuat KTP Jakarta di kelurahan Tebet Timur, Jakarta Selatan. Sebelum aku mengurus pembuatan KTP tersebut, banyak teman yang bilang bahwa untuk mengurus KTP aku harus mengeluarkan minimal uang Rp50.000 bila ingin proses pembuatannya cepat. Namun jika tidak ingin cepat, maka paling-paling kita mengeluarkan uang Rp25.000. Angka yang terakhir hampir sebanding dengan upah buruh pabrik yang seharian bekerja.

Sebelum ke kelurahan, aku cek dulu kebenaran informasi ini dengan melihat peraturan daerah. Ternyata Perda Jakarta No 3/1999 tentang Retribusi Daerah jo Perda Provinsi DKI Jakarta No 7/2000 tentang Perubahan Pertama atas Perda DKI Jakarta No 3/1999 tentang Retribusi Daerah menyatakan bahwa "Biaya KTP adalah Rp 0,- alias gratis." Selain itu, Pemda DKI lewat website-nya juga menginformasikan bahwa pengurusan KTP gratis.
Aku ke kelurahan Tebet Timur, Jakarta Selatan untuk mengurus KTP. Lengkap dengan semua dokumen yang dibutuhkan. Aku melewati antrean panjang dan melihat dengan mata sendiri bahwa setiap orang dikenai biaya Rp10.000 untuk memperoleh KTP. Aku jadi ragu-ragu, apakah benar aku diharuskan membayar? Tiba giliranku dipanggil. Setelah petugas memeriksa dokumen yang aku bawa, tibalah pada pernyataan yang ingin aku hindari, "Mbak, biayanya Rp10.000 dan dua minggu lagi selesai." Ia berbicara dengan gaya yang santai seolah-olah pemerasan itu hal biasa. Aku dengan percaya diri berbicara, "Kan tidak ada peraturan yang menyebutkan harus membayar? Tolong Bapak sebutkan peraturan mana yang mengharuskan membayar!"

Setelah aku berusaha mempertanyakan pungutan liar itu, suara petugas tadi meninggi dan tetap bersikukuh memintaku membayarnya. Aku juga bersikukuh tidak mau membayar. Semua mata sampai memandang ke arahku dan petugas kelurahan itu. Aku tahu yang ada di benak mereka adalah kalimat: "Kenapa tidak mengikuti kebiasaan yang ada? Toh hanya membayar Rp10.000." Aku berusaha melawan karena aku sadar itu adalah korupsi. Apabila dibiarkan maka akan banyak terjadi korupsi lain di kelurahan Tebet ini. Aku tetap ngeyel meskipun takut.

Namun kengeyelanku akhirnya kandas juga. Karena khawatir akan terjadi keributan hanya gara-gara uang Rp10.000. Aku dengan terpaksa membayar. Namun aku jadi merasa bersalah. Aku telah masuk dan membiarkan praktek korupsi terjadi lagi di masyarakat. (Sumber: The Institute for Ecosoc Rights, Wednesday, December 06, 2006).

Ternyata, apa yang dialami oleh, sebut saja Fitri di atas, bukan cerita rekaan belaka. Betapa buruknya pelayanan publik di Jakarta, sampai urusan pembuatan selembar kartu bernama KTP, berbelit-belit urusannya. Banyak fakta yang membuktikan hal tersebut. Coba simak berita berikut. SENIN (23/6) pagi pukul 07.00 di Kantor Kelurahan Sunter Jaya, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, beberapa warga sudah berkumpul. Seorang tukang sayur yang tinggal di Sunter Bentengan terlihat bercakap-cakap dengan seorang pemuda yang menyandang ransel di pundaknya. Mereka menunggu loket pengurusan KTP dibuka. Sudah pukul 08.00 ketika si pemuda mendekati salah seorang petugas dengan seragam hansip. Ia bertanya, pukul berapa kantor akan buka karena ia harus kuliah di Depok.
"Kalau hari Senin, biasanya petugasnya telat, baru dateng pukul 09.00-an," jawab seorang pria berbaju hijau khas pertahanan sipil. Alasannya, seluruh pegawai ikut apel di kantor kecamatan. "Saya duluan deh, masak ngurus KTP saja harus bolos," katanya sambil meninggalkan gedung kelurahan yang cukup mentereng di tengah perkampungan itu.

Hampir pukul 09.00 ketika akhirnya loket dibuka. Sepuluh orang yang menunggu berebutan menumpukkan berkasnya di mulut loket. Mereka terus menunggu, sementara dua petugas yang baru datang itu sibuk bercanda satu sama lain.

"Ayo cepat, semua antri," kata salah seorang petugas sambil mengambil tumpukan formulir perpanjangan KTP. Tumpukan itu tidak langsung dikerjakan karena pada saat itu, ada seorang pria yang membawa tas hitam masuk. Sekali lagi petugas pelayanan publik itu mengabaikan publik yang menunggu. Rupanya, pria yang baru datang itu hendak mengambil KTP baru milik "klien-kliennya". Usai bercanda sana-sini, akhirnya para petugas baru bersedia melayani publik yang sudah menunggu.

"Sumbangannya mana?" kata petugas pada seorang warga yang hendak mengurus KTP baru karena kehilangan. Bingung karena tidak tahu apa yang dimaksud dengan sumbangan, si warga lalu bertanya, "Sumbangan apa, Pak?" Si petugas tertawa dan berkata, "Sumbangan sukarela, terserah berapa," katanya dari balik loket. Mungkin dia lupa, di kaca hitam pembatas loket itu tertempel stiker bertuliskan "Masyarakat dilarang memberikan sumbangan dalam bentuk apa pun kepada petugas".

"Kalau ada sumbangan bisa 10 hari, tetapi kalau tidak mau ya tunggu 14 hari lagi," katanya sambil melempar formulir tersebut. Si warga dengan kesal lalu bertanya mengenai tanda terima yang seharusnya diterimanya agar bisa mengambil KTP kalau sudah jadi. Namun, sekali lagi ia harus kecewa. "Yang tanda tangan belum datang, tunggu aja, paling juga pukul 11.00 orangnya datang," kata petugas yang lain.

1 komentar:

  1. Wah, Semoga nanti gub DKI bisa lebih bertangan besi, dan tidak berkuping besi(alias tuli). Korupsi kecil2an macam KTP ini mau diberantas bagaimana kalo pimpinan yang di atas juga korupsi gede2an. Contoh terbaru seperti DPR di masa2 susah seperti ini masih sempet2nya minta Laptop 22jt/buah. Bila anggota DPR ada 1000 org maka total = 22M(atau US$ 2.315.790). Padahal orang2 korban LAPINDO di sana masih merintih2 tinggal di tenda dan makanan tidak layak. Kalo perlu laptop, banyak kok dengan harga 10jt dengan kualifikasi bagus dan memadai.

    BalasHapus

Hubungi Kami:

Kantor : Gedung twink Lt 3, Jl Kapten Tendean no. 82, Mampang Prapatan Jakarta Selatan
Telp: 021-73888872/021-70692409

Email : cheriatna@gmail.com




Entri Populer

Info Haji

Biro Travel Haji Plus dan Umroh Prima Saidah